Akupedia.id, TENGGARONG – Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tengah dihadapkan dengan permasalahan serius terkait kekerasan seksual terhadap anak. Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kukar, Farida, mengungkapkan bahwa jenis kejahatan ini tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi korbannya.
Korban kekerasan seksual sering kali mengalami kondisi mental yang sangat terganggu, seperti depresi berat, stres berkepanjangan, hingga risiko bunuh diri. Farida menegaskan pentingnya penanganan yang komprehensif, tidak hanya dari segi hukum tetapi juga dari segi kesehatan mental.
“Korban sering mengalami trauma berat dan gangguan mental yang memerlukan perhatian khusus. Dampaknya bisa sangat parah, hingga mengancam keselamatan jiwa mereka,” ujarnya.
Sebagai upaya untuk membantu korban mengatasi trauma ini, UPTD PPA Kukar telah menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi para korban dan keluarganya. Layanan tersebut melibatkan para psikolog profesional yang bekerja sama dengan UPTD PPA Kukar. Pendampingan ini bertujuan untuk membantu korban memproses dan mengatasi trauma yang mereka alami, serta memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Selain bantuan psikologis, UPTD PPA Kukar juga menyediakan bantuan hukum, sosial, dan ekonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap korban. Farida menjelaskan bahwa penting bagi korban untuk mendapatkan dukungan penuh agar mereka merasa aman dan mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak atas keadilan.
Namun, tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak di Kukar tidak hanya datang dari trauma korban. Banyak dari mereka yang enggan melapor karena takut akan stigma sosial yang mungkin mereka hadapi. Stigma ini sering kali memperparah kondisi mental korban, membuat mereka merasa terisolasi dan tidak berdaya. Selain itu, dalam beberapa kasus, proses hukum terhambat oleh adanya tekanan dari pihak pelaku atau keluarganya yang meminta penyelesaian secara damai.
“Kami meminta masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung agar korban merasa aman untuk berbicara dan melapor. Penting agar kasus kekerasan seksual tidak menjadi ‘culture of silence’ atau budaya diam,” tegas Farida.
Ia juga mengingatkan bahwa kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah pelanggaran serius yang harus ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ia mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat, termasuk keluarga, teman, dan guru, untuk berperan aktif dalam memberikan dukungan kepada korban, baik secara emosional maupun praktis.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dicegah dan ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kita harus melindungi mereka sebagai generasi penerus bangsa,” pungkasnya.
Pemulihan psikologis yang mendalam merupakan salah satu aspek terpenting dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dukungan dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitar dapat membantu korban untuk pulih dan mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. (*)
Penulis : Dion