Asal-Usul Gas Air Mata: Dari Senjata Perang Hingga Alat Pengendali Massa

Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa pengunjuk rasa yang berakhir dengan kericuhan. Foto: Antaranews.com

Akupedia.id – Gas air mata selalu muncul dalam pemberitaan setiap kali terjadi aksi demonstrasi, kericuhan, atau bentrokan. Zat kimia yang mampu membuat mata perih, sesak napas, dan kulit terbakar ini kini identik dengan pengendalian kerumunan. Namun, tak banyak yang tahu bahwa sejarah gas air mata justru berawal dari medan perang lebih dari seabad lalu.

Awal Kemunculan di Medan Perang

Catatan pertama penggunaan gas air mata terjadi pada Agustus 1914, ketika pasukan Prancis menembakkan granat berisi senyawa tersebut ke arah parit Jerman di perbatasan. Peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Perbatasan itu menandai kelahiran gas air mata modern. Penemuan ini merupakan buah karya ahli kimia Prancis pada pergantian abad ke-20, yang awalnya dimaksudkan sebagai taktik baru dalam pertempuran setelah Konvensi Den Haag 1899 membatasi penggunaan senjata berbahaya tertentu.

Efek gas air mata sejak awal memang dirancang untuk memaksa musuh keluar dari perlindungan. Zat kimia di dalamnya menimbulkan rasa perih di mata, iritasi kulit, hingga sesak di saluran pernapasan. Dengan begitu, pasukan yang bersembunyi di balik parit terpaksa meninggalkan posisinya.

Baca juga  Tujuh Keajaiban Unik Dunia yang Jarang Terungkap

Penggunaan di Perang Dunia

Memasuki dekade 1930-an, gas air mata kian meluas penggunaannya. Italia mengerahkan gas air mata dan senjata kimia lain saat berperang dengan Ethiopia. Spanyol pun memakainya di Maroko, sementara Jepang menggunakannya ketika menyerang Cina.

Pada masa Perang Dunia II dan konflik setelahnya, praktik ini tetap berlanjut. Amerika Serikat menembakkan gas air mata ke terowongan Viet Cong di Vietnam, bahkan sampai masuk ke tempat perlindungan warga sipil. Dampaknya, banyak korban non-kombatan ikut menderita sesak napas.

Kondisi ini memunculkan kritik internasional. Pada 1966, delegasi Hongaria di PBB menegaskan bahwa penggunaan gas air mata di Vietnam tidak bisa dibenarkan. Menurut mereka, alasan penggunaan untuk “riot-control” hanyalah dalih yang ditolak komunitas ilmiah dunia. Sejak saat itu, muncul dorongan untuk melarang senjata kimia jenis ini digunakan dalam perang.

Kesepakatan akhirnya lahir lewat Konvensi Senjata Kimia 1993 di Jenewa. Pasal I ayat (5) menegaskan bahwa negara-negara peserta dilarang menggunakan gas air mata sebagai metode peperangan. Namun, masih ada empat negara yang tidak meratifikasi aturan ini, yakni Korea Utara, Sudan Selatan, Mesir, dan Israel.

Baca juga  Asal Usul Nama Wi-Fi yang Jarang Diketahui Banyak Orang

Beralih Jadi Alat Pengendali Massa

Menjelang berakhirnya Perang Dunia I, Fries, pemimpin Chemical Warfare Service di AS, melihat potensi gas air mata untuk penggunaan sipil. Ia mempromosikan gas ini sepanjang tahun 1920-an sebagai cara “lebih manusiawi” untuk menjaga ketertiban, dibandingkan dengan senjata tajam.

Kampanye Fries membuahkan hasil. Pada akhir 1920-an, beberapa kepolisian besar di Amerika, seperti New York, Philadelphia, dan San Francisco, mulai membeli pasokan gas air mata. Teknologi pun berkembang: dari granat pelempar menjadi kartrid, pistol pelontar, hingga perangkat yang dipasang di penjara dan brankas bank sebagai pengaman.

Gas Air Mata di Demonstrasi

Meski telah dilarang dalam perang, penggunaan gas air mata sebagai pengendali kerusuhan tetap berlanjut. Pada 1969, Garda Nasional atas perintah Gubernur California Ronald Reagan menyemprotkan gas air mata dari helikopter di Berkeley’s Sproul Plaza, mengenai ribuan orang termasuk anak-anak.

Baca juga  7 Kebiasaan Sehari-hari yang Tanpa Disadari Bisa Merusak Ginjal

Tahun 1980-an, dunia kembali diguncang kritik karena Korea Selatan dan Israel menggunakan gas air mata terhadap mahasiswa dan warga sipil. Meski ada pengawasan ketat, praktik ini berlanjut hingga era modern.

Contoh terbaru datang dari Hong Kong dalam aksi pro-demokrasi, serta di Indonesia. Pada 2019, gas air mata digunakan untuk membubarkan aksi mahasiswa. Bahkan pada tragedi Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022, gas air mata diduga kuat menjadi penyebab ratusan korban jiwa.

Antara Kontroversi dan Regulasi

Sejarah gas air mata menunjukkan perjalanannya yang panjang: dari medan perang hingga ke jalanan kota. Meski dianggap lebih “ringan” dibanding senjata api, dampaknya bisa fatal, terutama bila digunakan di ruang tertutup atau terhadap kerumunan besar.

Karena itu, meski legal digunakan untuk crowd-control, regulasi yang ketat sangat dibutuhkan. Tanpa aturan jelas, gas air mata bisa menjadi senjata yang bukan hanya melerai kerumunan, tetapi juga memakan korban jiwa.

Berita Lainnya